Diam-diam, jauh, jauuuuuuuuuuuuuuuuuuh di lubuk hati aku punya angan-angan menjadi foto model. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Beberapa bulan yang lalu Mas Shalahudin dari Penerbit Dolphins meminta bantuanku. Dia mau menerbitkan kitab “Ilmu Jawa Kuno (Sang Hyang Tattwa Jnana Nirmala Nawaruci)”, karya besar Empu Siwamurti pada zaman Majapahit dan perlu contoh gambar untuk ilustrasi penjelasan tentang beberapa asana dalam yoga agar pembaca bisa sepenuhnya mengerti. Mungkin karena aku senang “pamer” pose yoga di mana-mana, Mas Shalauddin pikir aku punya foto yang dimaksud. Dia memberikan pose-pose yang diambil dari internet. Orang-orang dalam foto itu ramping, berkulit putih dan… langsing.
“Tapi gambarnya kan sudah ada? Lagian ukuran tubuhku sekarang lebih mekar bersemi,” aku mencoba berkilah.
“Itu gambar dari internet, mbak. Takutnya ada yang menggugat. Dan lagi, ini naskah jawa, masa gambarnya orang bule?”
Okelah kalau begitu. Karena saat itu ada di Malang, kami pergi ke Candi Singosari untuk berfoto….
… sambil ditonton orang. Padahal, aku memilih candi ini karena biasanya di situ sepi pengunjung.
Saat mencoba memperagakan pose Swastikāsana (postur duduk bersila dengan jari kaki dimasukkan ke lipatan belakang lutut) aku kesulitan. Pasalnya, pahaku terlalu tebal. #uhuk jadi tidak mirip gambar contoh. #menundukmalu
Namanya juga model jadi-jadian, beginilah hasilnya. Bagi yang berminat ingin membeli bukunya, silakan meng-google ya.
Semakin menemukan arti penting sebuah pamer di media sosial. Selamat, Mbak Dina. Ikut seneng 🙂
Makasih, Anaz.
Kalau gak cermat, pamer di medsos malah menimbulkan perkara ya. 😉
Tergantung dari mana kita melihat, Mbak. Ahahaha… Aku ngomong opo? 😀
Bener, apakah kita melihatnya sambil bergelantungan atau enggak. Hahahahaha
Hahahaha
Mbak Dina ini 😛
Wow amazing! :))
Thanks!
keren mbak dina
Makasih Lidya. Sekadar membatu teman sekaligus numpang nampang. #cihuy