Hati mencelus. Itulah tepatnya yang kurasakan pada suatu hari di bulan Oktober tahun 2007, saat aku dipanggil oleh atasanku untuk diberitahu bahwa posisiku di kantor termasuk yang terkena penciutan. Aku diberi keleluasaan untuk melamar kembali ke posisi baru dalam organisasi yang telah direstrukturisasi atau menerima Skema Pemberhentian Kerja Berdasarkan Kesepakatan. Oh my God, duh Gusti nu Agung, ya Tuhan …! Galau melanda. Aku breadwinner, cicilan pinjaman belum lunas, anak-anak masih kecil.
Organisasi asing tempatku dulu bekerja itu sudah menjadi rumah kedua bagiku. Berdiri sejak tahun 1948, nilai-nilai yang dianutnya selaras dengan sebagian besar nilai-nilai yang kujunjung tinggi. Pekerjaannya menyenangkan sehingga walau terkadang berat jadi tak terasa, dan imbalannya (apalagi tunjangan kesehatannya) lebih dari cukup, plus banyak kesempatan mendapatkan pelatihan yang terkadang diselenggarakan di luar kota bahkan di luar negeri. Rasanya berat hati ini meninggalkan zona nyaman tersebut. Sempat terpikirkan untuk kembali melamar posisi kosong yang diakibatkan restrukturisasi.
Akan tetapi, entah mengapa aku merasa itulah saatnya untuk banting setir. Untuk percaya pada kata-kata bijak ‘jika aku menginginkan sesuatu maka semesta akan membantuku untuk meraihnya’. Aku pun memilih untuk menerima Skema dan mengejar impianku menjadi penerjemah.

Kehidupanku setelah itu bagaikan naik roller coaster di Dufan. Tetapi, hei! Sudah bertahun-tahun berlalu dan aku masih bertahan. Putriku lulus dari IPB dan adiknya masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang. Sekarang, hari-hari kuhabiskan dengan bekerja bersenang-senang di rumah atau di mana saja asal bisa memakai komputer jinjing dan lebih disukai ada internetnya. Ingin tahu bagaimana aku melakukannya? Beli buku antologi “Bye-bye Office”, karena cerpen berjudul “Berpenghasilan Tanpa Bekerja” tentang pengalamanku jadi wirausaha ini menjadi salah satu dari 15 naskah terpilih yang diterbitkan oleh MIC Publishing. Baca ulasan buku ini..

pengen juga suatu saat menggeluti hobi yang menghasilkan uang.
risiko pekerjaan juga nggak tahu kedepannya bagaimana.
thanks buat artikelnya mbak
Sama2. Terima kasih udah berkunjung.
Mungkin bener kata Pak John Eliot (penulis buku Overachievement) bahwa agar berhasil orang perlu berada dalam tekanan. Aku juga saat itu kepepet jadi aja berani melakukan quantum leap. Kalau engga sih mungkin saat ini masih ngantor… atau tidak… 😉
heu…kok sama seperti keadaanku sekarang mbak.
aku juga ada pilihan resign apa ngelamar baru di kantor yang lama.
tapi itu tadi, masih takut melangkah keluar zona nyaman ini.
dan sekarang sedang berpikir panjang. memutuskan resign apa ttp ngelamar dikantr yg sekarang.
betewe bukunya sudah ada di gramed belum mbak?
Semangat! Semoga bisa menentukan pilihan yang tepat.
Kayaknya di mana-mana deh, Sophie. Bukan kita aja yang pingin ramping, kantor-kantor juga getol mengadakan perampingan :p Makanya, mau ga mau aku terjun ke dalam kewirausahaan. Bukan apa-apa, udah ga laku lagi ngelamar jadi pegawai hehehehehe…..
Kata temen-temen sih buku-buku yang kuterjemahkan udah ada di Gramedia. ‘Hex Hall’ ditaruh di rak buku laris, dan ‘Laba-laba dan Jaring Kesayanganku’ kata distributornya baru ditata di rak, langsung dibeli sama 6 orang yang berbeda 😉
ini artikel yang ikut lomba ya? wuih manteepp
Iya. Katanya terbit bulan Februari 😀
Dina selamat ya untuk cerpennya yang akan terbit. Boleh numpang promosi nih di blog-nya ya kebetulan temanya menulis. Aku akan membuka kelas menulis. Satu kelas maksimum 15 orang. Sekarang baru terkumpul 5 orang yang berminat. Siapa tahu teman-temannya Dina ada yang berminat menjadi penulis tapi bingung mau mulai dari mana. Pelatihan 2 hari plus mentoring tulisan selama 2 bulan. Target menulis untuk media massa. Kontak saya di hsurjadi@yahoo.com. Hatur nuhun ya untuk numpang promosinya
Silakan teman-teman yang berminat ikut kelas menulisnya Mas Harry. Menarik dan sangat bermanfaat!
Mba Dina, selamat ya! mantap juga nih pengalaman hidupnya.. kuliah di IPB ya Mba anaknya? ehhhehehee,, sama atuh, saya juga alumnus S1 di IPB dan skrg lanjut S2 lagi di IPB. hehee.. Berarti harusnya saya manggil Bu Dina yaa.. 😛
Terima kasih. Aku juga lulusan IPB, tapi DII 😉
Ihiy boleh panggil apa aja asal jangan Bapak, Mas, apalagi Bro… hehehhe….
hahaaa.. bisa aja ^^ anaknya jurusan apa mba? angkatan? siapa tau aku kenal.. heheee *sok kenal 😛
Diploma Teknik Lingkungan angkatan 48, lha wong baru masuk tahun ini. Kuliahnya lebih banyak di kampus Cilibende atau Baranang Siang. Seminggu dua kali aja kuliah di kampus Dramaga.
oo iyaaa… deketan atuh, saya juga ngampus MB IPB yg depan Telkom itu (Jalan Pajajaran). Gak pernah kuliah di Darmaga. Tapi kost malah masih di Darmaga. Hehe, Jauh pisan ya
Euleuh…. jauh pisan didugdag dari Dramaga ke MB IPB mah…. macetnya itu lho. Anakku kos di Bagunde. 😀